Ketika Anak Indonesia Tak Lagi Bermain
- Diposting Oleh Achmad Firdausi
- Senin, 16 Juni 2025
- Dilihat 337 Kali
Oleh: Moh. Affandi
(Ketua Program Studi Hukum Ekonomi Syariah)
Dulu, anak-anak Indonesia tumbuh bersama alam. Mereka berlarian di pematang sawah, memanjat pohon mangga, bermain petak umpet hingga senja, membuat mainan dari kaleng bekas, atau sekadar berimajinasi dengan pasir, ranting, dan batu. Dunia mereka dipenuhi keringat, tawa, luka kecil di lutut, dan kegembiraan tanpa batas. Dari permainan itu, mereka belajar banyak hal tentang menyelesaikan konflik, memahami kerja sama, mengasah kreativitas, dan membangun ketangguhan. Masa kecil seperti itu melahirkan manusia-manusia kuat, adaptif, dan siap menghadapi tantangan zaman.
Namun kini, masa bermain yang penuh kehidupan itu perlahan memudar. Anak-anak kita lebih banyak diam, terpaku di satu tempat, dengan wajah terpantul cahaya layar. Di era digital ini, eksploitasi terhadap anak tidak lagi berbentuk kerja paksa di tambang atau pabrik. Ia datang lebih halus, lebih canggih, dan sering kali tak terlihat—melalui perangkat digital di tangan mereka.
Yang semula menjadi alat bantu belajar kini bergeser menjadi ruang bermain virtual tanpa batas. Di balik gemerlapnya animasi dan tantangan permainan, industri game online bekerja tanpa henti membangun sistem adiktif yang menjadikan anak-anak sebagai konsumen pasif—bahkan sumber keuntungan yang luar biasa besar. Ini bukan sekadar soal waktu layar atau kebiasaan bermain, tapi soal bagaimana masa kecil mereka dibajak oleh kepentingan ekonomi yang masif dan sistematis.
Anak-anak didorong bermain terus-menerus, mengejar level, membeli item digital, bahkan memohon pada orang tua demi membeli “skin” atau nyawa tambahan. Dalam banyak kasus, mereka menjadi target pasar yang mudah dimanipulasi oleh algoritma dan iklan. Sistem "loot box", “reward harian”, dan “push notification” dirancang untuk membuat mereka kecanduan—dengan satu pesan utama, "terus main, dan terus bayar".
Padahal, mereka belum memiliki nalar ekonomi, belum mampu mengelola waktu, dan belum memahami bahwa dunia digital tempat mereka tenggelam itu dibentuk secara sengaja untuk mengeksploitasi titik-titik lemah psikologis mereka. Bentuk eksploitasi ini tak tampak seperti kerja keras fisik, tetapi justru menguras waktu, perhatian, dan emosi mereka—semua demi keuntungan para raksasa industri digital.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa anak-anak yang kecanduan game online kerap mengalami penurunan prestasi belajar, gangguan tidur, hingga keretakan hubungan sosial dan keluarga. Ironisnya, banyak orang tua justru memfasilitasi ketergantungan ini karena alasan kepraktisan: anak yang diam bermain game dianggap lebih mudah diatur, tidak rewel, dan ‘anteng’ di rumah. Padahal dalam keheningan itu, mereka tengah kehilangan bagian paling berharga dari masa kecilnya, yaitu kebebasan untuk bermain sungguhan, berinteraksi langsung, berimajinasi liar, dan tumbuh dengan utuh.
Eksploitasi anak kini tidak selalu berbentuk kasar atau menyakitkan. Ia bisa hadir dalam bentuk yang menyenangkan, bahkan menghibur. Dan ketika itu terjadi, banyak dari kita tidak merasa perlu khawatir. Kita terbuai, lalu abai.
Sudah saatnya kita bersikap. Bukan dengan melarang teknologi, melainkan dengan membangun kesadaran, mengedukasi orang tua, memperkuat regulasi perlindungan anak, dan menghadirkan ruang bermain yang sehat dan bermakna. Kita harus memastikan bahwa teknologi tidak merampas hak anak untuk menjadi pemimpin masa depan.
Kelak, bukan kecanggihan gawai yang akan membentuk masa depan mereka—melainkan tangan-tangan kecil yang pernah bebas bermain, tertawa, jatuh, bangkit, dan tumbuh dengan jiwa yang merdeka.
Editor: Achmad Firdausi